Pilkada GUBSU dan WAGUBSU 2013 sudah di pelupuk mata. Beragam kiat
dilakukan partai dan para Cagub dan Cawagub untuk menjaring simpati
rakyat. Mulai iklan di media, pemasangan gambar di jalan-jalan, bahkan
di tempel di tiang-tiang listrik dan tembok pinggir parit, hingga
lobi-lobi di warung kopi. Tentu, itu sah-sah saja, namanya usaha. Siapa
banyak mengumpul suara, berpeluang untuk menang.
Masing-masing partai, tentu mempunyai visi, misi dan program yang
bervariasi.
Karenanya, di sinilah pentingnya bahwa kampanye pemilu bukan
sekadar mengajak rakyat untuk memilih partai / Pigur seseorang , akan
tetapi bagaimana memberi ruang bagi terbangunnya pendidikan politik
rakyat, sehingga rakyat cerdas, dan tidak seperti membeli kucing dalam
karung.
Melihat dari strategi kampanye partai politik yang masih menggunakan
model terselubung tentunya rasa pesimistislah yang mengemuka. Sebab,
tidak ada sikap santun, saling menghormati, dan sikap anti disiplin yang
menjadi perusak pendidikan demokrasi. Karena bagaimanpun etika dalam
politik tetap harus diperhatikan.
Pada hakikatnya seorang wakil tentu harus mengenal dan dikenal oleh yang
diwakilinya.
Seorang Calon Gubernur dan Wakil Gubernur harus dikenal
dan mengenal calon yang dipimpinnya. Proses kenal-mengenal itu menjadi
sebuah jembatan komunikasi membangun hubungan yang dilandasi rasa saling
percaya. Sehingga pada saatnya setiap posisi mampu memainkan perannya
masing – masing dengan sebaik baiknya.
Pola komunikasi politik melalui iklan di tepi jalan sebenarnya tidaklah
salah. Selama memenuhi peraturan itu adalah hak kandidat. Akan tetapi
ketika menempatkannya sebagai jurus utama dalam menjaring dukungan
rakyat, hal itu menjadi sesuatu yang pantas dipertanyakan, belum juga
cara pemempelan gambar / baliho ditempat tempat yang semestinya tidak
ditempeli haruslah diperhatikan misalnya di Pohon yang merusak
lingkungan harusnya dihindari.
Kondisi demikian ialah sebuah akibat, sebab tak lepas dari pengaruh
bagaimana tahapan para Cagub dan Cawagub melangkah hingga ditetapkan
sebagai calon. Pertumbuh kembangan politikus negeri ini masih belum
menemui formula sebagai sebuah standar yang menjamin kualitas produk
caleg. Dibumbui regulasi prosedural yang setiap saat berubah-ubah,
kaderisasi yang ada belum begitu meyakinkan sebagai proses demokrasi
baik ditinjau dari aspek kapabilitas
Cagub dan Cawagub sebagai politisi
ataupun dari sisi kedekatan dengan konstituen.
Sistem perwakilan sejatinya beranalogi alur pertumbuhan pohon yakni dari
bawah ke atas. Seorang wakil lahir dan dibentuk oleh kesepakatan dan
mufakat politik dari sel paling bawah akar rumput pemilihnya. Namun
keadaan itu tentunya membutuhkan waktu dan proses serta kesadaran
politik yang tinggi dari masyarakat. Sayang hal itu merupakan sesuatu
yang belum kita miliki karena pada umumnya masyarakat hanya memaknai
politik dalam periodesasi pemilu.
Pola yang terangkai di negeri ini pun justru berwujud peluncuran produk
komersial, dari atas ke bawah. Seorang Cagub dan Cawagub baru memulai
proses pengenalan setelah yakin disahkan parpol sebagai calon .
Layaknya
launching produk baru dalam industri, Cagub dan Cawagub tersebut
diperkenalkan partai pada masyarakat yang akan diwakili. Dan dengan
strategi seperti itu mereka menargetkan perolehan dukungan maksimal dari
masyarakat. Secara logika hal itu tidak mungkin menghasilkan ketulusan
dalam proses penunjukan wakil, namun suka tidak suka adalah realita
(tuntutan pasar politik). ==> Promosi / Pengenalan Dadakan itulah
yang banyak dilakukan Cagub dan Cawagub.
Walau tidak semua, tetapi pada kenyataanya mayoritas rakyat tidak
mengenal atau belum pernah mendengar sama sekali siapa Cagub dan Cawagub
yang akan dipilihnya. Keadaan itu menjadikan iklan sebagai langkah
utama dalam merebut citra di mata calon pemilih. Secara substansi
politis ada untung-rugi kampanye politik ala promosi komersil tersebut.
Positifnya, memberi kesempatan kepada publik (calon pemilih) untuk
secara objektif memberi persepsi dan interpretasi pada bahasa partai
atau pesan kandidat tanpa terikat/tertekan pada komitmen apa pun.
Kekurangannya, pencitraan pasif itu tidak memberi ruang dialogis yang
seharusnya tertata.
Komunikasi dua arah yang sepantasnya menjadi titik
temu bagi pencairan kebekuan politik, pencarian solusi dan keterbukaan
berbagai komitmen lainnya.
Pada saat ini sebenarnya banyak media yang dapat kita gunakan sebagai
media interaktif yang memungkinkan komunikasi 2 arah antara calon dan
konstituennya ya’ni melalui siaran dialogis melalui Radio, televisi
namun itu memerlukan biaya extra , ada juga yang gratisan namun perlu
waktu yaitu melalui media dunia maya ( Fece Book , Bloger dlsb) dan itu
kalau seorang Caleg/Cabub mau melaksanakan insyaallah banyak manfaat nya
karena konstituen bias mengritik , memberikan saran dengan bebas tanpa
adanya tekanan, rasa sungkan dlsb.
Apatisme Publik
Sebab-akibat di atas pun membuat edisi kampanye Cagub dan Cawagub SUMUT
2013 nanti belum memiliki harga patut guna menawar kejenuhan politik
masyarakat. Efektivitas alternatif tersebut belum memberi nilai lebih
bagi peningkatan animo masyarakat untuk memberi perhatian serius pada
Pilkada sebagai pesta demokrasi.
Kita tahu dan prihatin masalah apatisme publik yang mulai akut
menyangkut partisipasi politik di negeri ini.
Sepanjang tahun lalu di
berbagai ajang pemilihan kepala daerah (pilkada), angka golput
mendominasi hasil penghitungan dari seluruh potensi suara di tiap daerah
pemilihan.
Jawaban atas tanda tanya mengapa masyarakat demikian apatisnya tentu
tidak terlepas dari apa yang disebut dengan belajar dari pengalaman.
Refleksi kinerja pemerintah selama ini beserta tindak tanduk para
pejabat yang tidak mengena di hati rakyat niscaya menjadi pelajaran bagi
rakyat. Simbiosis mutualisme yang ideal terjalin antara rakyat dan
wakil rakyat belum pernah nyata ditemui masyarakat.
Namun sangat disayangkan ketika buah dari pelajaran masa lalu itu adalah
rasa jera, hilangnya semangat berdemokrasi, kebosanan bahkan keengganan
untuk menyalurkan aspirasinya. Negara telah kehilangan kredibilitasnya
di mata masyarakat karena tindak-tanduk sebagian besar abdinya.
Masyarakat akhirnya meragukan terciptanya perubahan lewat proses pemilu
karena suasana yang ditampilkan selalu tidak jauh berbeda dengan
masa-masa sebelumnya. Saat-saat seperti ini semua pihak merasa dan
mengklaim diri sebagai pihak yang dekat dengan rakyat. Padahal saat
terpilih janji yang terucap seakan menguap sesaat setelah sumpah
diucapkan.
Hal itu berakibat munculnya perasaan dieksploitasi di pihak rakyat
karena suaranya hanya dimanfatkan untuk Objek kepentingan pribadi dan
kelompok Belum diperlakukan sebagai Subjek yang nanti bisa diperdayakan
kemampuannya dikemudian hari agar roda pemerintahan kita menjadi yang
lebih baik. Perasaan dikhianati itu membuat publik sudah tidak
menganggap pemilihan umum sebagai pesta bagi rakyat atau momen
penggantungan harapan baru. Sebaliknya pemilu adalah semata-mata pesta
bagi mereka yang memupus harapan itu & yang lebih hina lagi saat ini
konsituen pilih yang ada DUIT nya untuk bisa dipilih dan dapat menjadi
pemenang dalam pergolatan tersebut. [ al_anshor ]

0 Komentar untuk "Budaya Apatisme Dalam Pemilukada"