Sudah 15 tahun sejak era reformasi bergulir menandai suatu era transisi dari rezim Otoriter Soeharto dengan durasi kekuasaannya yang berlangsung selama 32 tahun, menuju era demokrasi, seolah mendukung tesisnya kalangan mainstream liberal bahwa rezim otoriter di Indonesia juga ikut tersapu oleh gelombang demokratisasi ketiga yang melanda beberapa negara hampir di seluruh belahan dunia sebagaimana dituliskan oleh Samuel P. Huntington. Alam rezim Soeharto dinilai menjadi noda lembaran sejarah Indonesia yang digoreskan dengan tinta darah dan pengkebirian hak-hak sipil dan politik warga negara melalui aparatur militer dan birokrasinya demi menerapkan cetak biru pembangunan yang menjadi ideologi rezim otoriter Soeharto pada waktu itu. Dan alam reformasi dipandang optimis sebagai alam yang humanis dengan landasan demokrasinya yang menjamin seluruh hak-hak warga negara sebagai perwujudan penghormatan atas Hak Asasi Manusia (HAM).
Sesungguhnya, selama hampir dua windu ini sejak reformasi bergulir berbagai pencapaian untuk mengefektifkan unit-unit sistem demokrasi semakin mengokohkan demokrasi di masa transisi ini. Seperti lahirnya kelompok kepentingan (interest group) melalui kebebasan berserikat yang tidak lagi dikontrol oleh rezim dan penguatan civil society dengan menjamurnya ribuan Non Government Organizations (NGOs) sebagai instrumennya, kebebasan pers, iklim politik yang kondusif bagi tumbuhnya partai politik baru, dan salah satu pencapaian yang cukup femonenal adalah terlaksananya pemilihan umum di Indonesia tahun 1999, dan terutama tahun 2004 dan 2009 sebagai pemilihan umum yang terbesar dan paling kompleks di dunia dapat berlangsung secara aman dan damai meski masih terdapat berbagai kekurangan. Bahkan Indonesia menjadi satu-satunya negara demokrasi yang paling sibuk dengan gelaran pemilukada langsung hingga ke tingkatan Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Namun demikian, salah satu agenda penting yang belum juga terealisasi hingga saat ini adalah pelaksanaan transitional justice atau keadilan transisional baik itu pengungkapan kejahatan korupsi dan represifitas politik rezim maupun atas berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa rezim otoriter Soeharto sebagai tuntutan paling kuat untuk pelurusan sejarah Indonesia. Mungkin perlu ditanyakan kembali apakah kita masih ingat dengan sejarah kelam di masa lalu seperti peristiwa G 30 S 1965, peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Talangsari, peristiwa Aceh, peristiwa Ambon, tragedi 27 Juli 1996, tragedi trisakti, tragedi semanggi, dan masih banyak lagi berbagai peristiwa dan tragedi yang mengakibatkan banyak jiwa menjadi korban baik itu yang meninggal, hilang ataupun keluarga korban yang trauma, ketakutan, dan belum mendapatkan reparasi atau keadilan atas kekejaman rezim otoriter Soeharto? Apakah kita menyadari bahwa pelurusan sejarah masa lalu sangat menentukan arah sejarah bangsa Indonesia di masa depan?
Bung Karno pernah berkata “jangan menatap masa depan dengan mata yang buta sebab masa yang lalu sangatlah berguna sebagai kaca benggalanya masa yang akan datang”. Salah satu founding parents kita tersebut mengajarkan bahwa masa lalu sangatlah berguna sebagai cermin untuk menatap masa depan. Namun apabila masa lalu itu ternyata masih ditutupi kabut yang belum disingkap dan masih terjadi pembiaran atas kejahatan masa lalu.
Ketika suatu masa pemerintahan otoritarian atau perang saudara berakhir, sebuah negara dan rakyatnya berdiri di persimpangan jalan. Apa yang mesti dilakukan terhadap masa lalu yang dipenuhi kisah tentang para korban, pelaku, mayat-mayat yang dikuburkan entah di mana, ketakutan yang menghantui, dan tiadanya pengakuan resmi dari negara? Apakah masa lalu ini harus dibongkar kembali, dilestarikan, diakui atau dimintakan maaf? Bagaimana sebuah bangsa yang bermusuhan dipersatukan kembali, pihak-pihak yang bermusuhan dirukunkan kembali, dalam konteks sejarah yang penuh kekerasan dan bahkan terasa begitu getir dan perih, yang menambah perih dan pedihnya luka? Apa yang harus dilakukan dengan ratusan atau ribuan pelaku yang tetap saja berjalan melenggang dengan bebasnya? Dan bagaimana sebuah pemerintahan yang baru mencegah kekejaman serupa dari pengulangannya di masa depan?” (Priscilla B. Hayner, Unspeakable Truths: Confronting State Terror and Atrocity, 2001)
Oleh : Anwar Ilman
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik UI
Sesungguhnya, selama hampir dua windu ini sejak reformasi bergulir berbagai pencapaian untuk mengefektifkan unit-unit sistem demokrasi semakin mengokohkan demokrasi di masa transisi ini. Seperti lahirnya kelompok kepentingan (interest group) melalui kebebasan berserikat yang tidak lagi dikontrol oleh rezim dan penguatan civil society dengan menjamurnya ribuan Non Government Organizations (NGOs) sebagai instrumennya, kebebasan pers, iklim politik yang kondusif bagi tumbuhnya partai politik baru, dan salah satu pencapaian yang cukup femonenal adalah terlaksananya pemilihan umum di Indonesia tahun 1999, dan terutama tahun 2004 dan 2009 sebagai pemilihan umum yang terbesar dan paling kompleks di dunia dapat berlangsung secara aman dan damai meski masih terdapat berbagai kekurangan. Bahkan Indonesia menjadi satu-satunya negara demokrasi yang paling sibuk dengan gelaran pemilukada langsung hingga ke tingkatan Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Namun demikian, salah satu agenda penting yang belum juga terealisasi hingga saat ini adalah pelaksanaan transitional justice atau keadilan transisional baik itu pengungkapan kejahatan korupsi dan represifitas politik rezim maupun atas berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa rezim otoriter Soeharto sebagai tuntutan paling kuat untuk pelurusan sejarah Indonesia. Mungkin perlu ditanyakan kembali apakah kita masih ingat dengan sejarah kelam di masa lalu seperti peristiwa G 30 S 1965, peristiwa Tanjung Priok, peristiwa Talangsari, peristiwa Aceh, peristiwa Ambon, tragedi 27 Juli 1996, tragedi trisakti, tragedi semanggi, dan masih banyak lagi berbagai peristiwa dan tragedi yang mengakibatkan banyak jiwa menjadi korban baik itu yang meninggal, hilang ataupun keluarga korban yang trauma, ketakutan, dan belum mendapatkan reparasi atau keadilan atas kekejaman rezim otoriter Soeharto? Apakah kita menyadari bahwa pelurusan sejarah masa lalu sangat menentukan arah sejarah bangsa Indonesia di masa depan?
Bung Karno pernah berkata “jangan menatap masa depan dengan mata yang buta sebab masa yang lalu sangatlah berguna sebagai kaca benggalanya masa yang akan datang”. Salah satu founding parents kita tersebut mengajarkan bahwa masa lalu sangatlah berguna sebagai cermin untuk menatap masa depan. Namun apabila masa lalu itu ternyata masih ditutupi kabut yang belum disingkap dan masih terjadi pembiaran atas kejahatan masa lalu.
Ketika suatu masa pemerintahan otoritarian atau perang saudara berakhir, sebuah negara dan rakyatnya berdiri di persimpangan jalan. Apa yang mesti dilakukan terhadap masa lalu yang dipenuhi kisah tentang para korban, pelaku, mayat-mayat yang dikuburkan entah di mana, ketakutan yang menghantui, dan tiadanya pengakuan resmi dari negara? Apakah masa lalu ini harus dibongkar kembali, dilestarikan, diakui atau dimintakan maaf? Bagaimana sebuah bangsa yang bermusuhan dipersatukan kembali, pihak-pihak yang bermusuhan dirukunkan kembali, dalam konteks sejarah yang penuh kekerasan dan bahkan terasa begitu getir dan perih, yang menambah perih dan pedihnya luka? Apa yang harus dilakukan dengan ratusan atau ribuan pelaku yang tetap saja berjalan melenggang dengan bebasnya? Dan bagaimana sebuah pemerintahan yang baru mencegah kekejaman serupa dari pengulangannya di masa depan?” (Priscilla B. Hayner, Unspeakable Truths: Confronting State Terror and Atrocity, 2001)
Oleh : Anwar Ilman
Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik UI

2 Komentar untuk "Transisi Demokrasi dan Penegakan HAM Di Indonesia"
dan sampai sekarang pun pelanggaran HAM masih banyak terjadi
ham di indonesia perlu ditegakkan ya mas :)
sehingga masyarakat bisa aman dan nyaman :)