Pemutusan hubungan kerja (PHK) sudah seperti gelombang tsunami. Makin lama, ukurannya semakin besar, pun menjadi-jadi. Jika dibiarkan, kita tahu kira-kira bagaimana dampaknya.
Ini kali, tanda-tandanya sudah di depan mata. Alasan yang paling disebut adalah program efisiensi perusahaan. Nah, PHK ini menghantui tak hanya satu sektor industri saja, tetapi banyak lini usaha sekaligus.
Penyebabnya? Menurut Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, akumulasi atas beberapa faktor eksternal dan internal. Pertama, sisi eksternal. Tahun 2014 pertumbuhan ekonomi Amerika sedang bagus. Seluruh mata uang Paman Sam dari penjuru dunia “pulang” ke negaranya, yaitu Amerika Serikat (AS).
Bersamaan dengan itu, harga minyak dunia justru menurun secara drastis, sampai di bawah US$ 50 per barel, dari semula di atas US$ 100 per barel. Dengan turunnya harga minyak, otomatis sektor manufaktur di seluruh dunia jadi bergerak melambat. Sebab, energi yang dibutuhkan industri manufaktur ikut-ikutan drop. China sebagai produsen terbesar industri manufaktur, merupakan salah satu negara yang paling terpukul.
Kedua, bersamaan dengan situasi tersebut, pemerintah kita mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di tengah turunnya harga minyak dunia. Pemerintah juga punya kebijakan mencabut subsidi BBM. Ya, kebijakan ini harus diambil karena Indonesia bukan lagi negara pengekspor minyak, melainkan pengimpor energi. Ini memang kebijakan terobosan selama 45 tahun terakhir yang efeknya bagus untuk jangka waktu panjang, berkisar 20 tahun–30 tahun ke depan.
Pemerintah juga punya kebijakan melarang industri tambang mengekspor bijih mentah. Ore alias bijih tambang wajib diolah di dalam negeri agar memberi nilai tambah sebesar-besarnya. Ada juga kebijakan energi lain, seperti mengerek tarif dasar listrik.
Faktor eksternal itu membuat negara kita, yang sangat tergantung dengan China, ikut terganggu ekonominya. Sementara faktor internal, kenaikan harga energi menjadi patokan atas naiknya bahan pokok. “Sehingga, dana masyarakat terkuras untuk memenuhi kebutuhan pokok dan BBM yang harganya makin meningkat,” ujar Ade.
Efek yang membuntuti, masyarakat tidak lagi membeli barang-barang bersifat sekunder seperti barang otomotif, tekstil, elektronik, sepatu, atau bahkan perumahan. Dari situlah dimulainya pengereman konsumsi di dalam negeri.
API mengadakan penelitian kecil di empat kecamatan di Kabupaten Bandung, yaitu Kecamatan Pacet, Kecamatan Ibun, Kecamatan Solokan Jeruk, dan Kecamatan Majalaya. Hasilnya, API mendapati hampir sekitar 6.300 karyawan tekstil sudah dirumahkan alias terkena PHK, di antaranya adalah mereka yang hanya bekerja dua hingga tiga hari seminggu.
Dari berbagai perusahaan yang merumahkan karyawan, sebagian besar terdiri dari usaha kecil menengah (UKM) seperti produsen sarung, sprei, maupun pakaian jadi. “Walaupun ini hanya sampling, tetapi dapat dipastikan hal yang sama juga terjadi terhadap semua pekerja di industri ini di seluruh Indonesia. Hanya saja, belum ada data pasti berapa banyak jumlahnya,” tegasnya.
Yang jelas, timpal Plt Direktur Jenderal Pengawas Kementerian Ketenagakerjaan Antiokus Mudjihandaya, perlu dipastikan dulu mana yang berhenti karena pensiun, karena kontrak kerjanya habis, atau memang efek efisiensi perusahaan. (kontan.co.id).
Tag :
Ekonomi

0 Komentar untuk "Ekonomi Makin Terpuruk, Indonesia Bersiap Hadapi Gelombang PHK Masal Tahun 2015"