May
Day lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja untuk meraih
kendali ekonomi-politis hak-hak industrial. Gerigi-gerigi panas mesin
era industri membelalakkan mata kaum pekerja terhadap kondisi
masyarakat. Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan
perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis
Barat. Amerika Serikat merupakan contoh konkrit. Pengetatan disiplin dan
pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di
tingkatan pabrik, menuai amarah dan perlawanan dari kalangan kelas
pekerja.
Pemogokan pertama kelas pekerja Amerika Serikat terjadi di 1806
oleh pekerja cordwainers. Pemogokan ini membawa para pengorganisirnya
ke meja pengadilan dan juga mengangkat fakta bahwa kelas pekerja di era
tersebut bekerja dari 19 sampai 20 jam seharinya. Sejak saat itu,
perjuangan untuk menuntut direduksinya jam kerja menjadi agenda bersama
kelas pekerja di Amerika Serikat.
Abad
19 juga menandakan sebuah momen penting kesadaran kelas pekerja dunia.
Kongres Internasional Pertama [i], diselenggarakan pada September 1866
di Jenewa, Swiss, dihadiri berbagai elemen organisasi pekerja belahan
dunia. Kongres ini menetapkan sebuah tuntutan mereduksi jam kerja
menjadi delapan jam sehari, yang sebelumnya (masih pada tahun sama)
telah dilakukan National Labour Union di AS: “Sebagaimana
batasan-batasan ini mewakili tuntutan umum kelas pekerja Amerika
Serikat, maka kongres merubah tuntutan ini menjadi landasan umum kelas
pekerja seluruh dunia.” Kaum revolusioner waktu itu menganggap bahwa
tuntutan delapan jam sehari bukanlah tuntutan final, melainkan taktik
untuk mengakselerasikan kesadaran kelas yang luas di antara kalangan
kelas pekerja.
Semenjak saat inilah, gerakan pekerja mulai menggemakan
ide-ide mengenai solidaritas internasional. Di mana harapan akan sebuah
dunia baru yang lebih baik mulai bersemi di setiap hati para kelas
pekerja dunia yang beramai-ramai berseru: “Derita satu adalah derita
yang dirasakan semua!” Kongres Jenewa merupakan titik berangkat
transformasi visi dan strategi gerakan kelas pekerja di masa depan.
Satu
Mei ditetapkan sebagai hari perjuangan kelas pekerja dunia pada 1886
oleh Federation of Organized Trades and Labor Unions untuk, selain
memberikan momen tuntutan delapan jam sehari, memberikan semangat baru
perjuangan kelas pekerja yang mencapai titik masif di era tersebut.
Tragedi Haymarket
Pada
April 1886, ratusan ribu kelas pekerja di AS yang berkeinginan kuat
menghentikan dominasi kelas borjuis, bergabung dengan organisasi pekerja
Knights of Labour. Perjuangan kelas masif menemukan momentum di
Chicago, salah satu pusat pengorganisiran serikat-serikat pekerja AS
yang cukup besar. Gerakan serikat pekerja di kota ini sangat dipengaruhi
ide-ide International Workingsmen Association. Gerakan tersebut telah
melakukan agitasi dan propaganda tanpa henti sebelum Mei untuk
merealisasikan tuntutan ‘Delapan Jam Sehari.’ Menjelang 1 Mei, sekitar
50.000 pekerja telah melakukan pemogokan. Sekitar 30.000 pekerja
bergabung dengan mereka di kemudian hari. Para pekerja turun ke jalan
bersama anak-anak serta istri untuk meneriakkan tuntutan universal
‘Delapan Jam Sehari.’ Pemogokan ini membawa aktifitas industri di
Chicago lumpuh dan membuat kelas borjuis panik.
Namun
tepat 3 Mei, pemerintah mengutus sejumlah polisi untuk meredam
pemogokan pekerja di pabrik McCormick. Mereka menembak mati empat orang
pekerja dan menciderai banyak orang. Gusar dengan tindakan kelas
penguasa tersebut, sejumlah kaum anarkis yang dipimpin Albert Parsons
dan August Spies–juga merupakan anggota aktif Knights of
Labour–menyerukan kepada kelas pekerja agar mempersenjatai diri dan
berpartisipasi di dalam demonstrasi keesokan hari. Pertemuan di hari
berikut yang berlokasi di bunderan Haymarket itu, berjalan tanpa
insiden. Karena cuaca buruk banyak partisipan aksi membubarkan diri dan
kerumunan tersisa sekitar ratusan orang. Pada saat itulah, 180 polisi
datang dan menyuruh pertemuan dibubarkan. Ketika pembicara terakhir
hendak turun mimbar, menuruti peringatan polisi tersebut, sebuah bom
meledak di barisan polisi. Satu orang terbunuh dan melukai 70 orang
diantaranya. Polisi menyikapi ledakan bom tersebut dengan menembaki
kerumunan pekerja yang berkumpul, menyebabkan satu orang terbunuh dan
banyak yang terluka.
Meskipun
tidak jelas siapa yang melakukan pelemparan bom, media massa dan
politisi borjuis mulai melemparkan tuduhan-tuduhan kabur bahwa ledakan
tersebut merupakan ulah kaum sosialis dan anarkis. Mereka menyerukan
’sebuah balas dendam yang pantas kepada kaum radikal.’ Setiap tempat
pertemuan, sekretariat serikat pekerja, tempat cetak, serta rumah
pribadi para aktifis diserang polisi. Setiap tokoh sosialis dan anarkis
ditangkap. Bahkan individu-individu yang sama sekali tidak memahami apa
itu sosialisme dan anarkisme, ditahan dan disiksa. Julius Grinnell,
Jaksa Penuntut Umum kota tersebut, menyuruh kepolisian ‘melakukan
penyergapan terlebih dahulu baru kemudian mempertimbangkan
pelanggaran-pelanggaran hukumnya’. Delapan dari tokoh anarkis yang aktif
di Chicago, dituntut dengan tuduhan pembunuhan terencana. Mereka adalah
August Spies, Albert Parsons, Adolph Fischer, George Engel, Fielden,
Michael Schwab, Louis Lingg dan Oscar Neebe.
Pengadilan
spektakuler kedelapan anarkis tersebut adalah salah satu sejarah
kebengisan lembaga peradilan AS yang sangat dipengaruhi kelas borjuis
Chicago. Pada 21 Juni, 1886, tanpa ada bukti-bukti kuat yang dapat
mengasosiasikan kedelapan anarkis dengan insiden tersebut (dari
kedelapan orang, hanya satu yang hadir. Dan Ia berada di mimbar
pembicara ketika insiden terjadi), pengadilan menjatuhi hukuman mati
kepada para tertuduh. Pada 11 November, 1887, Albert Parsons, August
Spies, Adolf Fischer, dan George Engel dihukum gantung. Louise Lingg
menggantung dirinya di penjara.
Sekitar
250.000 orang berkerumun mengiringi prosesi pemakaman Albert Parsons
sambil mengekspresikan kekecewaan terhadap praktik korup pengadilan AS.
Kampanye-kampanye untuk membebaskan mereka yang masih berada di dalam
tahanan, terus berlangsung. Pada Juni, 1893, Gubernur Altgeld, yang
membebaskan sisa tahanan peristiwa Haymarket, mengeluarkan pernyataan
bahwa, ‘mereka yang telah dibebaskan, bukanlah karena mereka telah
diampuni, melainkan karena mereka sama sekali tidak bersalah.’ Ia
meneruskan klaim bahwa mereka yang telah dihukum gantung dan yang
sekarang dibebaskan adalah korban dari ‘hakim-hakim serta para juri yang
disuap.’ Tindakan ini mengakhiri karir politiknya.
Bagi
kaum revolusioner dan aktifis gerakan pekerja saat itu, tragedi
Haymarket bukanlah sekadar sebuah drama perjuangan tuntunan ‘Delapan Jam
Sehari’, tetapi sebuah harapan untuk memerjuangkan dunia baru yang
lebih baik. Pada Kongres Internasional Kedua di Paris, 1889, 1 Mei
ditetapkan sebagai hari libur pekerja. Penetapan untuk memperingati para
martir Haymarket di mana bendera merah menjadi simbol setiap tumpah
darah kelas pekerja yang berjuang demi hak-haknya.
Meskipun
begitu, komitmen Internasional Kedua kepada tradisi May Day diwarisi
dengan semangat berbeda. Kaum Sosial Demokrat Jerman, elemen yang cukup
berpengaruh di Organisasi Internasional Kedua, mengirim jutaan pekerja
untuk mati di medan perang demi ‘Negara dan Bangsa.’ Setelah dua Perang
Dunia berlalu, May Day hanya menjadi tradisi usang, di mana serikat
buruh dan partai Kiri memanfaatkan momentum tersebut demi kepentingan
ideologis. Terutama di era Stalinis, di mana banyak dari organisasi
anarkis dan gerakan pekerja radikal dibabat habis di bawah pemerintahan
partai komunis.[ii] Hingga hari ini, tradisi May Day telah direduksi
menjadi sekadar ‘Hari Buruh’, dan bukan lagi sebuah hari peringatan
kelas pekerja atau proletar untuk menghapuskan kelas dan kapitalisme.
Sumber : kaskus

0 Komentar untuk "Sejarah Asal Usul May Day"